Masuknya era Revolusi Industri 4.0 dengan karakteristik teknologi menggunakan kecerdasan artifisial (KA) atau artificial intelligence (AI) telah mengubah banyak aspek kehidupan. Saat ini, semakin banyak industri yang menggunakan AI sebagai pengungkit proses bisnisnya. Begitu juga dengan industri yang membuat dan menyediakan produk berbasis AI. Pertumbuhan ini berpengaruh pada kebutuhan talenta kecerdasan artifisial yang unggul.
Dokumen Strategi Nasional (Stranas) KA menyebutkan bahwa orientasi pengembangan talenta KA akan diarahkan untuk pekerja (untuk pengembangan produk), peneliti (penciptaan produk baru) dan wirausahawan (penciptaan industri baru). Untuk mencapai kompetensi tertentu (standar kompetensi), pengembangan talenta KA membutuhkan ekosistem yang dapat mendukung proses pembelajaran dan proses inovasi. Pembentukan ekosistem tersebut membutuhkan kerjasama berbagai pihak, kolaborasi quad helix yang melibatkan akademisi, bisnis, pemerintah dan komunitas (ABCG).
Sekretaris 1 Kelompok Kerja (Pokja) Pengembangan Talenta KA dalam penyusunan Stranas KA, Dr. Ayu Purwarianti, ST, MT menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk bisa menghasilkan talenta kecerdasan artifisial yang berkualitas. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya penelitian di bidang AI yang didukung oleh para mahasiswa. Selain itu, saat ini sudah mulai banyak industri yang bergerak di bidang AI maupun industri yang memanfaatkan teknologi AI untuk bisnisnya.
“Yang perlu digarisbawahi sebenarnya negara-negara di luar sudah berlomba di bidang AI. Kami dari komunitas yang bergerak di bidang AI baik peneliti maupun industri merasa kita sudah sangat ketinggalan. Jangan sampai nanti kita hanya menjadi pengguna teknologi AI dan mengimpor teknologi AI dari luar negeri,” kata Ayu saat wawancara secara daring dengan Majalah AI Indonesia pada Kamis (22/7/2021).
Pengembangan talenta ini juga menjadi perhatian dari Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial (KA) yang dibentuk sebagai kelanjutan dari Stranas KA. Dalam PIKA terdapat Pokja Talenta yang salah satu tugasnya melaksanakan sejumlah program pengembangan talenta KA seperti pelatihan, pemagangan, workshop, summer school, beasiswa, maupun perlombaan talenta.
Menurut Ayu, yang menjadi Ketua Pokja Talenta PIKA, talenta KA bisa berasal dari lulusan pendidikan formal (lembaga pendidikan dimulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi) maupun pendidikan non formal (lembaga pelatihan). Untuk itu dalam pengembangan talenta KA, dirancang program jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Program jangka pendek adalah menetapkan (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) di bidang AI. Sertifikasi akan dilakukan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang telah diberi lisensi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
“Beberapa orang di dalam PIKA ikut serta pengembangan SKKNI AI, sebuah standar yang diciptakan supaya semua orang yang bilang dia menguasai AI harus melewati ujian SKKNI. Jangan sampai ada yang bilang bisa AI tapi tidak lulus ujian SKKNI. Kalaupun dia mau belajar sendiri tidak apa-apa asal lulus ujiannya,” terang Ayu.
Untuk program Jangka menengah adalah mendorong pelatihan-pelatihan di bidang AI. Misalnya ada satu konsorsium dari beberapa universitas yang diminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk membantu membuat pelatihan untuk dosen-dosen.
“Terakhir ada sekitar dua ribu dosen mengikuti pelatihan yang digelar oleh konsorsium universitas. Dari pelatihan tersebut, dosen-dosen akan mengajarkan pada mahasiswa-mahasiswanya,” tutur Ayu yang pernah menjabat sebagai Kaprodi S3 Teknik Elektro dan Informatika ITB pada 2016-2020.
Selain pelatihan untuk dosen, ada program study independent bersertifikat di Kampus Merdeka. Ayu melihat mitra yang tergabung dalam program tersebut banyak yang mengajarkan bidang AI untuk mahasiswa.
Ayu juga mengungkapkan, saat ini sudah banyak universitas yang menyediakan materi-materi di Youtube terkait pengajaran AI. Ayu menekankan agar tidak hanya mempelajari teori AI namun harus berani untuk mencoba/bereksperimen.
“Intinya mendorong demokratisasi AI, artinya bukan jadi barang mahal lagi untuk mendapatkan pendidikan di bidang AI, bagaimana caranya agar menjadi murah dan semua orang bisa mudah mengakses. Jadi bukan hanya orang dari computer science yang bisa mendalami AI. Tapi orang dari berbagai keahlian juga bisa menggunakan AI Untuk membantu mempermudah pekerjaannya,” kata Ayu.
Sementara untuk program jangka panjang, bagaimana memasukkan kurikulum AI mulai dari sekolah dasar hingga menengah. Salah satu yang telah dilaksanakan adalah pelatihan ke para guru teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mendalami computational thinking, suatu cara berpikir secara komputasi yang terstruktur sebagai dasar dari teknologi AI.
Bahkan ada lembaga pelatihan di Indonesia yang fokus ke sekolah siswa SD agar mereka aware terhadap AI. Begitu juga untuk siswa SMP atau SMA sebagai bekal bagi berminat mendalami AI di universitas.
“Saat ini, sebagian besar, sekitar 90% siswa itu yang ingin mempelajari computer science mulainya dari S1 bukan di pendidikan dasar atau menengah. Kalau itu bisa masuk di kurikulum pendidikan yang 12 tahun, maka itu akan sangat memudahkan ketika siswa waktu universitas,” lanjutnya.
Pada kesempatan tersebut, Ayu menyoroti kelemahan di bagian pengajaran TIK yang lebih menekankan pada cara menggunakan sebuah software. Padahal ada yang lebih esensial yang kaitannya dengan high order thingking (kemampuan berpikir tingkat tinggi). Computational thinking merupakan bagian dari high order thinking skill.
Terkait tantangan pengembangan Talenta AI, selain infrastruktur, menurut Ayu, ketersediaan data sangat penting. “Bisa saja kita memakai data main-main, karena sudah banyak resources gratis yang menyediakan data. Kalau didukung oleh pemerintah baik data maupun infrastruktur akan lebih bagus lagi kedepannya,” terangnya
Pemrosesan Bahasa
Pengembangan talenta dan penelitian tentang AI juga menjadi perhatian Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak tahun 1982. Pada 16 Agustus 2019 diresmikan pembentukan Pusat AI ITB. Visinya agar menjadi pusat penelitian di bidang AI yang terkemuka di level nasional dan internasional serta mampu menghasilkan produk penelitian dan inovasi yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
“Targetnya untuk bisa menggabungkan potensi-potensi di banyak fakultas agar AI bisa menyasar masalah yang lebih jelas. Misalnya, AI untuk perencaaan kota, AI untuk prediksi kurs atau risiko keuangan,” terang Ayu yang menjabat sebagai Kepala Pusat AI ITB.
Selain melakukan riset terkait AI, Pusat AI ITB juga memberikan pelatihan-pelatihan AI untuk luar ITB maupun di dalam ITB. Pusat AI ITB juga mengadakan workshop untuk dosen-dosen, mahasiswa-mahasiswa yang bukan di bidang IT tapi ingin menggunakan AI untuk data terstruktur. Selain itu untuk memasyarakatkan teknologi AI ke semua civitas akademi ITB dan di luar ITB.
Selain berkiprah di Pusat AI ITB, Ayu juga aktif mengembangkan teknologi AI melalui startup Prosa.ai. Prosa merupakan akronim dari “Pemrosesan Bahasa” yang berfokus pada AI dan pemrosesan bahasa alami (NLP) untuk Bahasa Indonesia. Prosa.ai didirikan pada 2018 oleh para ahli di bidang AI dan natural language processing (NLP) serta pakar bahasa yang berdedikasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di sektor industri yang memerlukan teknologi pemrosesan bahasa.
Produknya prosa.ai terutama terkait NLP baik suara maupun teks yang sudah banyak dipakai oleh pemerintahan maupun swasta. Pihaknya pernah membandingkan produk meeting transcription untuk Bahasa Indonesia dengan produk buatan Google.
“Kita buat sekitar 11 data uji dibandingkan dengan produk dari Google. Alhamdulillah dari perbandingan dari 11 dataset hanya 1 yang akurasinya dibawa Google, 10 lainnya di atas Google,” kata co-founder Prosa.ai ini.
Ayu berharap semua komponen baik pemerintah, industri, universitas, maupun lembaga lainnya mendorong kemajuan pengembangan teknologi AI di Indonesia. “Kita jangan ragu dengan produk dalam negeri, karena kalau kita sandingkan bisa lebih bagus dari produk luar negeri,” lanjutnya.
Ia meyakini jika industri AI di Indonesia bisa berjalan maka pengembangan talenta AI juga akan maju. Saat ini sudah terbukti dengan bertambah banyaknya mahasiswa yang menguasai teknologi AI.
Artikel ini diambil dari Andalan Inovasi Indonesia (AIMagz) dan dapat diakses melalui link ini